Senin, 16 Februari 2009

Tak Semua Bid'ah Dholal

Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid’ah. Akhir-akhir ini, kata itu makin sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita gunakan untuk memberi label kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut yang patut kita cermati, yaitu anggapan sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid’ah adalah aliran sesat. Karena itu aliran sesat, maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan menyingkirkannya. Kita merasa sedih sekarang ini, makin banyak umat Islam yang menganggap saudaranya sesat karena isu bid’ah dan sebaliknya kita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh atau menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh saudaranya seiman. Bahkan yang paling memprihatinkan sekaligus memalukan adalah makin maraknya umat Islam saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid’ah. Mari kita renungkan, apa ini harus terjadi terus menerus pada umat islam,?! sementara umat lain tertawa melihat pertikaian ini.

Sebenarnya isu bid’ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh perbedaan mengartikan bid’ah
Dalam kitab “Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atharkarangan Ibnu Atsir dalam pembahasanba da ‘a” (asal derivatif kata bid’ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah menghidupkan malam Ramadhan ”: نعمت البدعة هذه” Inilah sebaik-baik bid’ah”, dikatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi 2,
1) bid’ah
huda (bid’ah benar sesuai petunjuk)
2) bid’ah
sesat. Bid’ah yang betentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya s.a.w.
dan bid’ah yang kedua itulah bid’ah yang dilarang dan sesat. Dan bid’ah yang masuk dalam generalitas perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itu termasuk bid’ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan yang terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid’ah namun masuk dalam ketentuan hadist Nabi s.a.w. diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh Imam Muslim:

“‏من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء
Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” (H.R. Muslim). dan Hadits ini adalah penjelasan dari hadits:
وكل محدثاتها بدعة وكل بدعة ضلالة
sebab dalam masalah ilmu tata bahasa arab pada hadits itu dibenarkan membuang sifat, yang mana kira-kira sifat yang dibuang adalah
وكل محدثاتها بدعة وكل بدعة مخالفة للسنة ضلالة yang
artinya : setiap perkara yang baru diciptakan dalam agama yang bertentangan dengan sunnah rosul adalah bid’ah
Stateman Umar bin Khattab r.a. “Inilah bid’ah terbaikmasuk kategori bid’ah yang Hasanah (terpuji). Umar melihat bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid’ah yang baik, karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam hari Ramadhan beberapa hari, lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu, apalagi memerintahkan umat islam untuk berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum dilaksanakan secara berjamaah. Umar r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih berjamaah di masjid.
Para
ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena Rasulullah s.a.w. pernah bersabdaHendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku” (H.R. Ibnu Majah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: “Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan Umar”. (H.R. Tirmidzi dll).
Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. “كل محدثة بدعة” yang artinyasetiap perkara yang baru diciptakan dalam agama adalah bid’ah” harus dengan ketentuan bahwa hal baru tersebut tidak bertentangan dengan aturan dasar syariat dan sesuai dengan ajaran hadist.
Mengkaji masalah bid’ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar penggunaan kata bid’ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum yang diterapkan. Tanpa mendefinisikan bid’ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus pada perbedaan hukum, perbedaan pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga mendefinisikan bid’ah yang sesat dan masuk neraka, tidaklah mudah.

Dari
beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para
ulama dalam mendefinisikan bid’ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama menggunakan pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis (istilah).
Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid’ah dengan mengambil akar derivatif kata bid’ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w. disebut bid’ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid’ah untuk baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.
Imam
Syafi’i r.a. berkata: “Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan kitab, hadist dan ijma’, inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang tidak tercela.”
Ulama yang menganut metode pendefinisan bid’ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam, beliau membuat kategori bid’ah ada yang wajib seperti melakukan inovasi pada ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah seperti mendirikan madrasah-madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadz al-Quran sehingga keluar dari bahasa Arab, ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan ada yang halal seperti merekayasa makanan.
Golongan kedua mendefinisikan bid’ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut mencakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid’ah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid’ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist “كل بدعة ضلالة” yang artinyasetiap bid’ah adalah sesat”, terhadap semua bid’ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik: “Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w. menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinyaPada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”, adalah dalam konteks definisi bid’ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwaitu sebaik-baik bid’ah” adalah bid’ah dalam arti bahasa (etimologis). padahal kita juga tahu bahwa pada zaman rosululloh al-qur’an tidaklah dibukukan, melainkan dihafalkan dan ditulis pada tulang-tulang, dan dipelepah kurma, setelah rosululloh wafat, banyak khuffadz (ahli hafal al-qur’an) wafat, dan menimbulkan kekhawatiran al-qur’an akan hilang, lalu beberapa sahabat termasuk umar bin khottob mengajukan pada kholiifah abu bakar untuk membukukan al-qur’an, awalnya abu bakar tidak setuju karena manganggap itu bid’ah (di zaman rosululloh beliau tidak pernah membukukan al-qur’an dan juga memerintahkan membukukan al-qur’an) tapi abu bakar menimbang kekhawatiran para sahabat, dan akhirnya beliau menyetujui hal itu. dan itu merupakan bid’ah wajibah yang apabila tidak dibukukan maka bukan tidak mungkin al-qur’an akan menemui kepunahan.
Imam
Ghozali dalam IhyaUlumuddin (1/24 menegaskan:”Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid’ah yang sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama.
Yang
perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang disepakati bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik. Tentu merubah kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih hati-hati dan bijaksana.
Wallohu a’lam bish showab

2 komentar:

  1. Nulis terus, Rif. Insya Alloh faedah buat orang banyak.

    Salam,
    Fahmi Faqih

    BalasHapus
  2. Posting bagus dan bermanfaat. Terus semangat menyuarakan kebenaran…

    BalasHapus

Kumpulan Kitab Kuning Pesantren dan Bahtsul Masa'il

Kumpulan Kitab Kuning Pesantren dan Bahtsul Masa'il  NGOPISS Kumpulan Hasil Musyawaroh dan Kumpulan berbagai Kitab Kuning Pesantren GRAT...